Mahasiswa, Kampus, dan Peran Strategis dalam Administrasi Negara

Mahasiswa adalah pemimpin yang akan datang. Mereka bukan hanya sekadar peserta didik di perguruan tinggi, melainkan juga bagian penting dari subsistem masyarakat yang berperan aktif sebagai pembawa dan pemecah masalah. Sejarah bangsa berulang kali membuktikan hal ini. Dari Sumpah Pemuda 1928, perjuangan kemerdekaan 1945, perlawanan terhadap ketidakadilan pada masa Orde Baru, hingga reformasi 1998, mahasiswa tampil sebagai motor penggerak perubahan sosial-politik. Julukan “buah hati orang tua” sekaligus “tiang negara” melekat pada mereka karena perannya yang begitu besar.
Namun, peran itu tidak lahir begitu saja. Kampus, sebagai the first home dan the second home, harus dapat menyediakan ruang bagi mahasiswa untuk belajar, bertumbuh, sekaligus mengasah kesadaran sosial. Sebagai rumah pertama, kampus menjadi tempat mahasiswa mengembangkan ilmu pengetahuan, wawasan, dan keterampilan. Sebagai rumah kedua, kampus juga menjadi sekolah kehidupan, tempat mahasiswa belajar nilai, etika, dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran. Dari ruang-ruang kelas, organisasi kemahasiswaan, hingga aksi demonstrasi di jalan, mahasiswa menemukan jati dirinya sebagai agen perubahan.
Dalam perspektif ilmu administrasi negara, peran mahasiswa dapat dipahami lebih dalam. Administrasi negara berbicara mengenai bagaimana pemerintah menjalankan fungsi pelayanan publik, bagaimana kebijakan dirumuskan dan dilaksanakan, serta bagaimana legitimasi negara dijaga melalui partisipasi masyarakat. Di titik ini, mahasiswa memiliki posisi ganda, yaitu sebagai penerima manfaat dari kebijakan pendidikan tinggi, dan sekaligus sebagai pengawas, pengkritik, serta penggerak agar negara tetap berada pada jalurnya.
Di sinilah relevansi konsep Desekularisasi Pemikiran yang diperkenalkan oleh Dr. Ir. Ahmad M. Saefuddin dan rekan-rekannya menemukan konteksnya. Desekularisasi mengajarkan bahwa ilmu pengetahuan dan pembangunan tidak boleh dipisahkan dari nilai-nilai moral, etika, dan spiritual. Jika kampus hanya menekankan aspek rasionalitas tanpa memadukannya dengan nilai, maka akan lahir generasi cerdas tetapi kehilangan arah moral. Mahasiswa, sebagai agen perubahan, justru harus membawa sintesis antara ilmu pengetahuan modern dengan nilai-nilai luhur, agar perjuangan mereka tidak sekadar reaktif, tetapi juga memiliki pijakan filosofis dan moral yang kokoh.
Mahasiswa bukan sekadar penerima ilmu, tetapi juga aktor sosial yang berinteraksi dengan kebijakan publik. Ketika mahasiswa menyoroti isu korupsi, ketidakadilan sosial, atau pelayanan publik yang buruk, sebenarnya mereka sedang menjalankan fungsi kontrol sosial yang sejalan dengan prinsip-prinsip pokok administrasi negara yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi. Dengan memasukkan semangat desekularisasi, kritik tersebut tidak berhenti pada logika prosedural, tetapi juga menyentuh dimensi etis: bahwa kebijakan publik harus menjunjung nilai kemanusiaan, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat.
Lebih jauh, mahasiswa berperan sebagai katalisator perubahan. Mereka membawa energi muda, semangat idealisme, dan keberanian yang sering kali tidak dimiliki kelompok lain. Dalam konteks administrasi negara, keberadaan mahasiswa menjadi penyeimbang antara negara dan masyarakat. Di satu sisi, mereka mengkritik penyimpangan kebijakan; di sisi lain, mereka menawarkan solusi, gagasan, dan inovasi untuk memperbaiki sistem. Melalui perspektif desekularisasi, solusi yang ditawarkan mahasiswa diharapkan tidak hanya teknokratis, tetapi juga berakar pada nilai-nilai spiritual dan kebudayaan bangsa, sehingga lebih membumi dan berkelanjutan.
Namun, tanggung jawab itu tidak ringan. Mahasiswa dituntut untuk tidak hanya pandai berteriak di jalan, tetapi juga mampu menyusun argumen, memahami teori, serta mengaitkan perjuangan sosial dengan kerangka akademis yang kokoh. Administrasi negara memberikan kerangka untuk memahami dinamika ini, sementara desekularisasi pemikiran memberikan fondasi nilai agar perjuangan itu tidak tercerabut dari akar moralitas dan spiritualitas. Dengan kata lain, mahasiswa adalah bagian dari masyarakat sipil yang menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara kebebasan dan tanggung jawab.
Pada akhirnya, mahasiswa adalah wajah dari masa depan bangsa. Semakin kritis, berdaya, dan peduli mahasiswa terhadap persoalan publik, semakin kuat pula legitimasi sistem administrasi negara dalam menjalankan fungsinya. Kampus, dengan segala dinamika di dalamnya, harus terus menjadi ruang yang subur bagi tumbuhnya kebebasan berpikir, keberanian bersikap, dan kesadaran untuk selalu berpihak pada kebenaran. Jika kampus mampu mengintegrasikan ilmu pengetahuan dengan nilai melalui semangat desekularisasi, maka mahasiswa akan tetap menjadi agen perubahan, bukan hanya di dalam sejarah, tetapi juga dalam kehidupan berbangsa dan bernegara hari ini serta di masa depan.
Referensi :
Buku "Desekularisasi Pemikiran (Landasan Islamisasi) Tahun 1987 – Karya Dr. Ir Ahmad M. Saefuddin et al. – Pengantar: Jujun S. Suriasumantri. (Tersedia di Perpustakaan FISIP Universitas Nurtanio Bandung)