Sejarah
Sejarah
Cakra Aksara berdiri di tengah pergeseran besar peradaban manusia, saat pengetahuan melimpah, tetapi kebijaksanaan menipis. Di era digital, informasi kehilangan kedalaman karena disebar tanpa refleksi. Masyarakat menjadi terinformasi tanpa tercerahkan. Kondisi ini adalah paradoks epistemik yang menandai zaman modern.
Muhamad Dani Permana membangun Cakra Aksara dengan keyakinan bahwa pengetahuan tidak boleh berhenti pada fungsi teknis. Ia harus menjadi cahaya kesadaran yang menuntun manusia menuju keseimbangan nalar dan moralitas. Maka Cakra Aksara diletakkan sebagai ruang pengetahuan lintas batas sebuah pertemuan antara tradisi berpikir Timur dan Barat, antara warisan spiritual dan logika ilmiah, antara aksara kuno dan data modern. Cakara Aksara dibuat pada tanggal 31 Oktober 2025.
1. Asal Usul dan Makna
1.1 Akar Historis dan Kultural
Konsep Cakra telah hidup dalam banyak peradaban. Dalam filsafat India kuno, ia menggambarkan roda kosmos yang berputar abadi, melambangkan keseimbangan antara kekuatan dan kebijaksanaan. Rigveda dan Upanishad menjelaskan cakra sebagai simbol energi universal yang menjaga harmoni semesta. Dalam ajaran Buddha, Dharmacakra atau roda hukum menandai perputaran kebenaran yang mengajarkan kesadaran dan kasih universal.
Dalam tradisi Yunani, Aristoteles memandang kosmos sebagai sistem lingkaran sempurna yang digerakkan oleh unmoved mover gerak abadi yang melambangkan kesempurnaan rasional. Pandangan ini menunjukkan bahwa “roda” bukan sekadar bentuk geometris, melainkan simbol keteraturan alam dan keterikatan manusia dengan tatanan moral semesta.
Dalam peradaban Islam, konsep serupa hadir dalam gagasan dā’ira (lingkaran) yang digunakan oleh para sufi dan filosof seperti Ibn ‘Arabi dan Al-Ghazali untuk melambangkan perjalanan ruh manusia menuju kesempurnaan ilmu dan iman. Lingkaran di sini bukan benda, melainkan metafora keterpaduan antara ilmu (‘ilm), amal (‘amal), dan hikmah. Ia menggambarkan keterkaitan antara pengetahuan dan nilai, antara akal dan hati.
Dengan demikian, cakra bukan milik satu agama atau budaya. Ia adalah simbol universal dari gerak abadi pengetahuan roda yang tak berhenti memutar antara pencarian dan pemahaman.
Aksara, di sisi lain, muncul dalam hampir seluruh peradaban tulis manusia. Dalam Sanskerta, kata itu berarti “huruf yang tak bisa dihancurkan” (a-kṣara, yang tidak sirna). Dalam Buddhisme awal, aksara digunakan untuk melambangkan pengetahuan yang membawa pencerahan. Dalam tradisi Tionghoa, huruf (wen 文) mengandung makna peradaban dan keselarasan sosial. Dalam Islam klasik, konsep al-kitābah (penulisan) berakar pada firman pertama, Iqra’ bacalah yang menegaskan tulisan sebagai medium wahyu dan ilmu.
Dari seluruh tradisi ini, kita melihat satu garis kesatuan: manusia mengenali dirinya melalui tulisan, dan menata dunia melalui simbol. Aksara adalah wujud eksternal dari kesadaran; ia adalah cara manusia memberi bentuk pada pikirannya.
1.2 Sintesis Konseptual
Ketika dua konsep itu cakra dan aksara dijadikan satu, terbentuklah simbol yang kompleks: roda yang berputar mewakili dinamika pengetahuan, dan aksara yang tetap melambangkan kontinuitas makna. Gabungannya menjadi metafora peradaban yang hidup.
Cakra Aksara menafsirkan keduanya bukan secara mitologis, tetapi epistemologis. Gerak cakra menunjukkan proses pengetahuan yang terus berkembang, sementara aksara menunjukkan kebutuhan manusia untuk mengabadikan hasil pikirannya agar tidak lenyap dalam waktu. Maka, Cakra Aksara berarti pengetahuan yang bergerak sekaligus bertahan; berpikir yang dinamis sekaligus bertanggung jawab.
Filsafat ini menjadikan Cakra Aksara sebagai institusi pengetahuan yang berdiri di atas keyakinan bahwa kebenaran tidak statis, ilmu tidak eksklusif, dan kebijaksanaan tidak monopoli satu budaya. Ia adalah roda pengetahuan yang terus berputar di antara manusia dan zaman.
2. Nilai-Nilai Filosofis
Cakra Aksara berdiri di atas tiga nilai pokok: kebenaran (veritas), pengetahuan (scientia), dan kebijaksanaan (sapientia).
Kebenaran dipandang sebagai proses yang terbuka dan berkesinambungan. Popper (1997) menyebut pengetahuan ilmiah sebagai sistem hipotesis yang terus-menerus diuji dan diperbarui. Prinsip itu menjadi roh Cakra Aksara: kebenaran hidup selama ia dapat dikritik. Karena itu, setiap tulisan bukan pernyataan final, tetapi undangan untuk berdialog.
Pengetahuan menjadi jembatan antara individu dan masyarakat. Berger dan Luckmann (1966) menyatakan bahwa realitas dibangun melalui interaksi sosial. Cakra Aksara mempraktikkan hal ini dengan membangun komunitas yang menulis dan membaca secara sadar, menempatkan bahasa sebagai alat penciptaan realitas bersama. Setiap kata bukan sekadar informasi, melainkan tindakan sosial yang membentuk cara masyarakat berpikir.
Kebijaksanaan adalah puncak kesadaran pengetahuan. Habermas (1989) menekankan bahwa rasionalitas sejati muncul ketika komunikasi diarahkan pada saling pengertian, bukan pada dominasi. Bagi Cakra Aksara, kebijaksanaan berarti kemampuan menggabungkan pengetahuan dengan empati, dan kebenaran dengan tanggung jawab. Media ini berusaha menjaga agar ilmu tidak menjadi dingin dan mekanistik, tetapi tetap berakar pada nilai kemanusiaan.
Nilai-nilai ini melahirkan etos berpikir yang khas: menulis untuk memahami, bukan menundukkan; membaca untuk mengerti, bukan menghakimi. Dalam dunia yang terpecah oleh informasi, Cakra Aksara menegaskan kembali fungsi pengetahuan sebagai alat penyatuan.
3. Landasan Akademis
Cakra Aksara dibangun dengan kerangka teoritis yang kuat. Habermas (1989) menempatkan komunikasi rasional sebagai dasar masyarakat modern. Cakra Aksara mengambil bentuk digital dari gagasan itu ruang publik di mana warga berdialog dan saling mengoreksi dengan nalar terbuka.
Berger dan Luckmann (1966) menegaskan bahwa pengetahuan adalah konstruksi sosial. Karena itu, setiap teks di Cakra Aksara diperlakukan sebagai bagian dari proses pembentukan kesadaran bersama, bukan hanya dokumentasi peristiwa.
Kovach dan Rosenstiel (2014) menulis bahwa jurnalisme sejati berpijak pada loyalitas terhadap warga dan pada prinsip verifikasi. Hal ini menjadi pedoman kerja redaksi dalam setiap publikasi.
UNESCO (2022) menegaskan bahwa literasi media adalah kemampuan menilai dan mencipta informasi secara etis. Cakra Aksara mempraktikkan prinsip itu dengan menjadikan setiap artikel sarana pendidikan literasi publik.
Sugiyono (2018) mengingatkan bahwa ilmu yang sah harus disusun dengan logika, data, dan keteraturan berpikir. Prinsip metodologis ini menjaga agar semua konten di Cakra Aksara tidak lepas dari kaidah ilmiah.
Cakra Aksara menggunakan epistemologi triadik: empiris, rasional, dan reflektif. Empiris menjaga keakuratan; rasional menjamin koherensi; reflektif menuntun etika. Kombinasi ini melahirkan pengetahuan yang akurat tanpa kehilangan kedalaman nilai.
4. Kerangka Normatif
Cakra Aksara beroperasi dalam koridor kebebasan yang diatur oleh tanggung jawab sosial. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers menjadi landasan hukum, sedangkan Kode Etik Jurnalistik (Dewan Pers, 2008) dan Pedoman Pemberitaan Media Siber (2012) menjadi acuan moral.
Etika dipandang bukan sebagai batas, tetapi sebagai kompas. Rawls (1971) menjelaskan bahwa keadilan adalah bentuk tertinggi dari kebebasan yang bertanggung jawab. Prinsip ini menjaga agar kebebasan berekspresi tidak melahirkan kekacauan, melainkan keteraturan moral.
Dengan landasan normatif ini, Cakra Aksara memastikan bahwa kegiatan menulis dan berpikir tidak pernah lepas dari nilai keadilan, martabat manusia, dan keseimbangan sosial.
5. Posisi Akademik
Cakra Aksara menempati posisi unik di antara dunia ilmu dan dunia publik. Ia mempraktikkan jurnalisme akademis (Ward, 2015): menyampaikan ide dengan ketelitian ilmiah, tetapi dalam bahasa yang mudah diakses masyarakat.
Dalam peran akademis, Cakra Aksara menjembatani universitas dan masyarakat. Pengetahuan yang biasanya tersimpan di ruang seminar diubah menjadi narasi yang dapat dibaca dan diperdebatkan publik. Dalam peran sosialnya, ia mendorong masyarakat membangun kebiasaan berpikir berbasis bukti dan argumentasi. Freire (1970) menyebutnya proses conscientização kesadaran kritis yang memungkinkan manusia membaca dunia sebelum membaca kata.
Dengan posisi ini, Cakra Aksara menjadi mediator epistemik, bukan sekadar penyampai informasi, melainkan penggerak kesadaran kolektif.
6. Prinsip-Prinsip Dasar Cakra Aksara
Prinsip-prinsip Cakra Aksara bukan hanya pedoman operasional, melainkan perwujudan dari filsafat pengetahuan itu sendiri. Ia menempatkan nalar, moralitas, dan kemanusiaan sebagai tiga poros yang saling berputar seperti roda, menjaga agar ilmu tidak terlepas dari tanggung jawab, dan agar kebebasan berpikir tetap berpijak pada keadilan.
6.1 Prinsip Kebenaran (Veritas)
Kebenaran di Cakra Aksara tidak dianggap sebagai hasil akhir, tetapi sebagai proses penyelidikan tanpa henti. Popper (1997) menyebut pengetahuan sejati sebagai hipotesis yang terus diuji; setiap klaim hanya sah sejauh ia tahan terhadap kritik. Karena itu, setiap tulisan di Cakra Aksara wajib terbuka terhadap koreksi, pembantahan, dan pembaruan.
Kebenaran dipahami bukan sekadar korespondensi antara fakta dan realitas, melainkan keterpaduan antara ketepatan empiris dan kejujuran intelektual. Ia menuntut keberanian untuk mengakui ketidaktahuan serta kesiapan memperbaiki kesalahan. Prinsip ini menolak relativisme total, tetapi juga menolak dogmatisme karena pengetahuan hidup justru di antara keduanya.
6.2 Prinsip Pengetahuan (Scientia)
Pengetahuan dimaknai sebagai hasil dialog terus-menerus antara manusia dan lingkungannya. Berger & Luckmann (1966) menunjukkan bahwa realitas sosial terbentuk melalui komunikasi dan pemaknaan bersama.
Cakra Aksara memandang pengetahuan bukan milik segelintir akademisi, tetapi milik seluruh warga yang berpikir. Ia menjadi hak publik, bukan monopoli institusi. Karena itu, pengetahuan di sini berwujud partisipatif: masyarakat tidak hanya menjadi pembaca, tetapi juga penghasil makna.
Prinsip ini menegaskan bahwa menulis adalah tindakan sosial cara manusia berpartisipasi dalam membangun kesadaran kolektif. Dengan demikian, setiap artikel, opini, dan analisis yang diterbitkan berperan memperluas horizon berpikir masyarakat.
6.3 Prinsip Kebijaksanaan (Sapientia)
Kebijaksanaan adalah dimensi etis dari pengetahuan. Ia tidak berhenti pada logika, tetapi melibatkan empati dan kesadaran moral. Habermas (1989) menyebut rasionalitas sejati sebagai rasionalitas komunikatif sebuah upaya mencapai pemahaman melalui dialog yang jujur.
Bagi Cakra Aksara, kebijaksanaan berarti kemampuan menimbang nilai dalam setiap keputusan intelektual. Fakta tidak boleh disajikan tanpa belas kasih; argumentasi tidak boleh memutus kemanusiaan. Prinsip ini menjaga agar pengetahuan tidak berubah menjadi alat dominasi, melainkan sarana pembebasan dan pencerahan.
6.4 Prinsip Rasionalitas Publik
Rasionalitas publik memastikan bahwa keputusan dan kebijakan redaksi didasarkan pada argumen, bukan tekanan, popularitas, atau kekuasaan. Ia menuntut setiap ide diuji melalui nalar terbuka yang dapat dipertanggungjawabkan secara publik.
Prinsip ini lahir dari pandangan Habermas (1989) tentang ruang publik sebagai arena diskursus rasional, di mana legitimasi berasal dari kekuatan argumen, bukan otoritas. Dengan prinsip ini, Cakra Aksara menegaskan independensi intelektualnya di tengah ekosistem media yang sering tunduk pada kepentingan politik atau ekonomi.
6.5 Prinsip Transparansi dan Verifikasi
Transparansi adalah bentuk kejujuran epistemik. Kovach & Rosenstiel (2014) menyebut verifikasi sebagai inti jurnalisme yang bertanggung jawab. Cakra Aksara mengimplementasikannya dengan membuka sumber data, menjelaskan metodologi analisis, dan memberi ruang koreksi publik.
Verifikasi memastikan bahwa setiap informasi tidak bersandar pada opini, tetapi pada bukti. Transparansi memastikan bahwa setiap pembaca memiliki hak untuk menilai keabsahan argumen. Prinsip ini menciptakan kepercayaan intelektual antara penulis dan pembaca.
6.6 Prinsip Partisipasi dan Inklusivitas
Cakra Aksara berdiri di atas keyakinan bahwa pengetahuan tumbuh melalui partisipasi banyak suara. Prinsip ini menolak eksklusivitas akademik dan mendorong kolaborasi lintas disiplin, generasi, dan budaya.
Inklusivitas berarti mengakui keberagaman pandangan sebagai sumber kekayaan epistemik. Dalam perspektif sosiologi pengetahuan, pluralitas ide memungkinkan masyarakat menguji kebenaran dari berbagai sudut pandang. Dengan demikian, Cakra Aksara menjadi ruang terbuka bagi siapa pun yang ingin berpikir dan menulis dengan tanggung jawab.
6.7 Prinsip Integritas dan Akuntabilitas
Integritas adalah kesatuan antara pikiran, kata, dan tindakan. Ia menuntut konsistensi moral antara apa yang diyakini, ditulis, dan dilakukan. Akuntabilitas adalah kesediaan mempertanggungjawabkan akibat dari setiap tulisan terhadap publik.
Prinsip ini selaras dengan pandangan Rawls (1971) bahwa keadilan dan tanggung jawab sosial merupakan syarat moral kebebasan. Di Cakra Aksara, setiap kesalahan bukan disembunyikan, melainkan dikoreksi secara terbuka. Dengan cara ini, media menjadi contoh etika publik menunjukkan bahwa kejujuran lebih berharga daripada citra.
6.8 Prinsip Keberlanjutan Pengetahuan
Pengetahuan yang berhenti pada satu generasi akan mati; yang terus ditulis akan hidup melampaui zamannya. Prinsip keberlanjutan menegaskan bahwa setiap gagasan di Cakra Aksara harus menjadi bagian dari dialog lintas waktu.
Sebagaimana dijelaskan Ricoeur (1981), tradisi intelektual adalah percakapan panjang antara masa lalu dan masa kini. Tulisan hari ini menjadi fondasi bagi pemikiran esok. Karena itu, setiap karya yang diterbitkan harus memiliki nilai pendidikan yang berjangka panjang, bukan sekadar reaksi sesaat terhadap peristiwa.
6.9 Prinsip Humanitas
Segala aktivitas pengetahuan di Cakra Aksara berpusat pada manusia. Pengetahuan tidak dianggap berharga jika tidak memuliakan martabat manusia. Prinsip humanitas berpijak pada pandangan eksistensial bahwa ilmu harus membebaskan, bukan menundukkan.
Freire (1970) menyebut proses ini sebagai humanisasi melalui kesadaran kritis membebaskan manusia dari kebodohan struktural dan dominasi ideologis. Cakra Aksara mengadopsi pandangan ini dengan menjadikan tulisan sebagai bentuk pelayanan terhadap kemanusiaan: menumbuhkan empati, memperluas nalar, dan memperkuat tanggung jawab sosial.
Prinsip-prinsip ini tidak berdiri terpisah, melainkan membentuk sistem nilai yang saling menopang. Kebenaran tanpa kebijaksanaan akan menjadi kaku; pengetahuan tanpa partisipasi akan menjadi elitis; kebebasan tanpa integritas akan kehilangan makna. Cakra Aksara menjaga agar seluruh elemen itu bergerak seimbang, sebagaimana roda pengetahuan berputar tanpa henti.
Filsafat dasarnya sederhana namun mendalam: menulis adalah berpikir, berpikir adalah bertanggung jawab, dan tanggung jawab tertinggi pengetahuan adalah menjaga martabat manusia.
Aksiologi Cakra Aksara
Cakra Aksara lahir bukan hanya untuk memahami dunia, tetapi untuk memperbaikinya melalui kesadaran. Filsafat keberadaannya berpijak pada gagasan bahwa pengetahuan memiliki nilai moral yang melekat. Ilmu, sebagaimana ditegaskan oleh Jürgen Habermas (1989), selalu bersifat teleologis—ia mengarah pada tujuan sosial. Tujuan itu adalah emansipasi manusia dari kebodohan, manipulasi, dan pasivitas intelektual. Maka, seluruh aktivitas Cakra Aksara, dari menulis hingga membaca, adalah bentuk praksis nilai.
Secara aksiologis, Cakra Aksara mengembalikan fungsi pengetahuan sebagai kekuatan pembebas. Paulo Freire (1970) menjelaskan bahwa kesadaran kritis lahir ketika manusia mampu “membaca dunia sebelum membaca kata.” Prinsip ini mengilhami visi Cakra Aksara: tulisan bukan sekadar teks, tetapi cermin kenyataan dan alat transformasi sosial. Setiap pengetahuan yang lahir dari platform ini diarahkan bukan untuk menimbun informasi, melainkan membentuk manusia yang mampu berpikir, menimbang, dan bertindak dengan kesadaran etis.
Nilai utama yang menopang seluruh sistem Cakra Aksara adalah kebenaran yang berdaya guna. Kebenaran tidak berhenti pada fakta; ia menemukan maknanya ketika dipraktikkan untuk kebaikan bersama. Popper (1997) menyebut sains sebagai “petualangan rasional menuju kebenaran yang selalu sementara.” Dari pandangan ini, Cakra Aksara menempatkan dirinya sebagai ruang eksperimental moral tempat setiap ide diuji, dikritik, dan disempurnakan demi kemaslahatan manusia. Kebenaran yang tidak berdampak sosial dianggap belum selesai.
Dalam struktur aksiologisnya, Cakra Aksara memandang pengetahuan sebagai tanggung jawab publik. Ia menolak model pengetahuan yang menara gading dan menggantinya dengan paradigma partisipatif: ilmu untuk semua, oleh semua, dan bersama semua. Setiap tulisan adalah kontribusi terhadap percakapan kolektif yang lebih luas, membangun masyarakat yang tidak hanya tahu, tetapi juga mengerti. Berger dan Luckmann (1966) menyebut proses ini sebagai pembentukan realitas sosial melalui komunikasi; Cakra Aksara menjadikannya kenyataan digital yang hidup.
Etika publik menjadi penuntun utama nilai-nilai Cakra Aksara. John Rawls (1971) mengingatkan bahwa keadilan adalah bentuk tertinggi dari rasionalitas moral. Karena itu, kebebasan menulis di media ini selalu diikat oleh kesadaran akan dampaknya terhadap kemanusiaan. Setiap gagasan diuji bukan hanya pada kebenarannya, tetapi juga pada keadilannya. Kebebasan berpikir tanpa empati dianggap cacat secara moral, karena pengetahuan yang baik tidak boleh melukai.
Dimensi aksiologis Cakra Aksara juga mencakup keberlanjutan intelektual. Pengetahuan harus terus hidup lintas generasi. Ricoeur (1981) menulis bahwa setiap teks adalah percakapan antara masa lalu dan masa depan. Dalam semangat itu, Cakra Aksara berfungsi sebagai arsip kesadaran kolektif, menghubungkan ingatan budaya dengan wacana modern. Ia menampung tulisan dari beragam disiplin, pandangan, dan pengalaman agar roda pengetahuan terus berputar tanpa kehilangan arah.
Cakra Aksara memaknai kebijaksanaan sebagai nilai tertinggi dari pengetahuan. Habermas (1989) menyebut rasionalitas komunikatif sebagai bentuk tertinggi dari kehidupan sosial yang beradab, karena mengandaikan keterbukaan, kejujuran, dan saling pengertian. Di sini kebijaksanaan bukan sekadar sikap moral, tetapi struktur epistemik: cara berpikir yang sadar akan batas dirinya, sekaligus menghormati orang lain. Kebijaksanaan menjadikan ilmu manusiawi dan membuat kebenaran berakar pada kemanusiaan.
Secara aksiologis, Cakra Aksara adalah laboratorium nilai. Ia memadukan dimensi logika (akal), etika (moral), dan estetika (keindahan bahasa). Pengetahuan yang disajikan tidak boleh kehilangan rasa, karena makna sejati lahir dari keseimbangan antara pikiran dan perasaan. Dengan demikian, Cakra Aksara menjadi wujud logos yang berjiwa, bukan mesin informasi tanpa ruh. Ia adalah bentuk baru dari literasi sosial, di mana fakta, nilai, dan makna berjalan beriringan.
Nilai tertinggi Cakra Aksara adalah humanitas, yaitu pengakuan terhadap martabat manusia sebagai tujuan segala pengetahuan. Dalam pandangan ini, menulis berarti berpartisipasi dalam kemanusiaan; membaca berarti memahami penderitaan dan harapan sesama. Media ini tidak sekadar mengabarkan, tetapi membangun kesadaran bahwa kebenaran, bila kehilangan belas kasih, berubah menjadi kekerasan simbolik. Karena itu, setiap narasi di Cakra Aksara diarahkan untuk menciptakan dialog yang mendidik, menumbuhkan empati, dan memperluas horizon berpikir.
Seluruh prinsip, nilai, dan sistem pengetahuan Cakra Aksara berpuncak pada satu orientasi aksiologis: membentuk manusia yang berpikir jernih, bertindak adil, dan berbicara benar. Ia bukan sekadar wadah tulisan, tetapi arena pertumbuhan intelektual. Ia tidak berfungsi seperti industri berita yang mencari sensasi, tetapi seperti akademia terbuka yang mendidik masyarakat berpikir dengan hati. Inilah arti terdalam dari roda pengetahuan: terus berputar bukan untuk kekuasaan, melainkan untuk kebenaran dan kemaslahatan.
Dengan fondasi aksiologis ini, Cakra Aksara menegaskan misinya sebagai media pengetahuan universal. Ia menghimpun kebijaksanaan dari tradisi lama Islam, Hindu, Buddha, Yunani, dan humanisme modern lalu memadukannya dalam etos baru: menulis untuk memahami, berpikir untuk memperbaiki, dan berbagi untuk mencerdaskan. Dalam dunia yang kehilangan makna, ia memilih menjadi roda yang terus berputar, menjaga agar pengetahuan tetap berpihak pada kebenaran, kebijaksanaan, dan kemanusiaan.
Daftar Pustaka
Buku
Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality. Anchor Books.
Freire, P. (1970). Pedagogy of the Oppressed. Continuum.
Habermas, J. (1989). The Structural Transformation of the Public Sphere. MIT Press.
Kovach, B., & Rosenstiel, T. (2014). The Elements of Journalism. Three Rivers Press.
Popper, K. (1997). The Logic of Scientific Discovery. Routledge.
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
Ricoeur, P. (1981). Hermeneutics and the Human Sciences. Cambridge University Press.
Sugiyono. (2018). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D. Alfabeta.
Ward, S. J. A. (2015). The Invention of Journalism Ethics. McGill-Queen’s University Press.
Undang-Undang
Republik Indonesia. (1999). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. https://peraturan.bpk.go.id/Details/45370/uu-no-40-tahun-1999
Sumber Internet
UNESCO. (2022). Global Standards for Media and Information Literacy Curricula Development Guidelines. https://www.unesco.org/sites/default/files/medias/files/2022/02/Global%20Standards%20for%20Media%20and%20Information%20Literacy%20Curricula%20Development%20Guidelines_EN.pdf
